• UGM
  • IT Center
  • Portal Akademika
  • Penelitian
  • Webmail
  • Bahasa Indonesia
    • Bahasa Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Doktor Ilmu Kehutanan
Universitas Gadjah Mada
  • Tentang Kami
    • Sambutan
    • Visi Misi
    • Struktur Organisasi
    • Sarana Prasarana
    • Program Studi S3
      • Program Reguler
      • Program By Research
      • Program Intensif
  • Akademik
    • Prosedur Pendaftaran
    • Biaya Pendidikan
    • RPKPS
    • Portofolio OBE
    • BLANGKO PENILAIAN
      • PENILAIAN UJIAN KOMPREHENSIF
      • PENILAIAN UJIAN TERTUTUP DISERTASI
      • SEMINAR
  • Mahasiswa
    • Status Mahasiswa
    • Buku Panduan Akademik dan Penulisan Disertasi
    • Dokumen dan Blangko Akademik
    • Pendaftaran Yudisium
    • Kegiatan Mahasiswa
      • Pelatihan
      • Pengabdian
  • Dosen
    • Staff Pendidik
    • Publikasi
  • Berita
    • Berita
    • Agenda
    • Pengumuman
    • Galeri
  • Unduh
    • ASIIN Documents
    • Module Handbook
    • Kurikulum
  • Alumni
    • Daftar Alumni
    • Profil Alumni
  • Beranda
  • Profil Alumni
Arsip:

Profil Alumni

Pohon Cendana di Indonesia Terancam Punah

BeritaProfil Alumni Thursday, 9 November 2017

Populasi pohon cendana di Indonesia terus menurun dalam beberapa dekade terakhir, bahkan berada dalam ancaman kepunahan.

Data Pemprov NTT tahun 2010 mencatat hanya terdapat 300 ribu pohon cendana dewasa di Timor, Alor, dan Sumba. Padahal, di tahun 2000 masih terdapat sekitar 1 juta pohon cendana di wilayah tersebut.

“Angka ini menunjukkan reduksi lebih dari 100 persen dalam kurun waktu 10 tahun terakhir,” jelas Yeni Widyana Nurcahyani, S.Hut., M.Sc., dosen Fakultas Kehutanan UGM, di kampus setempat, Jumat (20/10).

Mempertahankan disertasi tentang penelitian cendana di kawasan Gunung Sewu dalam ujian terbuka program doktor di Fakultas Kehutanan UGM, Yeni menyampaikan populasi cendana tidak hanya menghadapi ancaman kepunahan, tetapi juga mengalami penurunan keragaman genetik yang cukup signifikan. Fragmentasi hutan telah menyebabkan penurunan keragaman genetik populasi cendana secara signifikan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Tekanan sosial ditengarai menjadi salah satu penyebab utama penurunan keragaman genetik populasi cendana atau yang dikenal dengan nama latin Santalum album Linn., Santalaceae ini. Disamping itu, juga disebabkan oleh gangguan alami.

“Populasi cendana di Indonesia yang tersebar di pulau Jawa, Sumba, dan Timor juga mengalami degradasi secara genetis maupun reproduksi karena gangguan antropogenis dan alami,” jelasnya.

Melihat besarnya degradasi pada populasi alam cendana di kepualuan Indonesia bagian Tenggara, dikatakan Yeni, kemunculan ras lahan baru di Gunung Sewu Global Geopark Network dapat menjadi sumber daya yang menjanjikan untuk program rehabilitasi. Tidak hanya itu, kawasan pegunungan kapur seluas 1.300 kilometer persegi yang berada di bagian tengah Pulau Jawa ini juga dapat dimanfaatkan sebagai wahana penelitian dan reintroduksi.

“Cendana di Gunung Sewu tersebar sepanjang gradien geografis pada berbagai tipe lanskap,” tuturnya.

Dalam penelitian yang dilakukan Yeni di Gunung Sewu diketahui terdapat perbedaan karakteristik lanskap dan habitat di kawasan Gunung Sewu. Perbedaan itu menyebabkan terjadinya variasi struktur populasi, kondisi klimatis, dan lingkungan antar ras lahan cendana sepanjang zona geografis di Gunung Sewu.

Yeni menyebutkan bahwa keragaman genetik spasial maupun temporal bervariasi seiring dengan perbedaan struktur populasi. Keragaman tersebut sangat dipengaruhi oleh struktur populasi, kelimpahan bunga, dan klonitas.

Dalam kesempatan itu, Yeni mengajukan rekomendasi terkait strategi konservasi cendana. Menurutnya, strategi konservasi sebaiknya disusun sesuai dengan basis genetik, keragaman genetik, sistem perkawinan, tingkat fragmentasi, dan klonitas dari setiap populasi. Pengembangan strategi konservasi juga harus diintegrasikan dengan program konservasi regional dan nasional.

“Bisa dilaksanakan dengan berbagai skema reintroduksi, rehabilitasi, ataupun perhutani sosial, termasuk di dalamnya manajemen konservasi dengan skema geopark,” pungkasnya. #dimuat dalam humas UGM

Kelangkaan Pakan, Populasi Orangutan di Gunung Palung Menurun

BeritaProfil Alumni Tuesday, 17 February 2015

YOGYAKARTA – Orangutan merupkan satu-satunya sejenis kera besar yang ada di Benua Asia. Habitatnya hanya ada di Sumatera dan Kalimantan. Sementara jenis kera besar lainnya, gorila, simpanse dan bonobo hanya ditemukan di Afrika. Meski demikian, Orangutan kini tergolong satwa langka yang terancam punah. Penyebabnya, laju degradasi hutan yang dikonversi menjadi lahan perkebunan dan pemukiman. ”Kehilangan habitat, degradasi dan fragmentasi merupakan ancaman terhadap kehidupan orangutan di Sumatera dan Kalimatan,” kata Slamet Rifanjani dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Kehutanan UGM, Kamis (29/1).
Penelitian terhadap habitat orangutan di Taman Nasional Gunung Palung (TNGP), Ketapang, Kalimantan Barat menunjukkan penurunan kepadatan populasi Orangutan. Dosen kehutanan Universitas Tanjungpura ini mengungkapkan penurunan populasi orangutan di taman nasional ini terjadi akibat adanya penurunan kerapatan pohon akibat penebangan baik pada habitat yang kontinyu maupun habitat yang terfragmentasi. Penurunan kerapatan pohon ini berpengaruh terhadap ketersediaan pakan seperti pohon punak (Tetramerista glabra) merupakan pohon yang memiliki nilai komersial sehingga menjadi sasaran tebang.

Di lokasi yang terfragmentasi penurunan populasi jauh lebih besar yaitu 98.08%. Data menunjukkan dari 2,60 orangutan per km persegi menjadi 0,05 orang utan per kilometer persegi. Padahal penelitian yang dilakukan 2001 lalu menunjukkan 4 ekor orangutan per satu kilometer persegi. Hal ini dikarenakan masalah berkurangnya pohon pakan dan lokasi yang terfragmen juga mengalami tekanan karena aktifitas manusia yang masuk sampai ke habitat orangutan dengan intensitas tinggi.

Akibatnya, orangutan memilih berdiam di pohon yang relatif besar dan tinggi dari pohon sekitarnya. Pohon-pohon tersebut umumnya berdiameter besar sebagai lokasi sarang yang biasanya terletak di hutan terdegradasi dan hutan terfragmentasi. “Sarang orangutan ini rata-rata berdiameter 10-20 cm serta ketinggian antara 7 sampai 18,5 meter,” ungkapnya.

Dari luas keseluruhan kawasan taman nasional yang mencapai 90 ribu hektar, ruang habitat dengan kategori sangat sesuai di kawasan utuh seluas 80.661 hektar, sementara kawasan yang terdegradasi dan terfragmentasi masing-masing 699 hektar dan 1,6 hektar.

Melihat kondisi ini, Slamet merekomendasikan agar pengelola Taman Nasional maupun pemerintah daerah setempat agar segera menetapkan kawasan hutan yang khusus diperuntukan bagi kawasan habitat orangutan. “Habitat itu perlu diperkaya dengan sarang, pakan diperbanyak, akses manusia juga dibatasi,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)

Teliti Rehabilitasi Lahan Gambut, Yanarita Raih Doktor

BeritaProfil Alumni Monday, 14 July 2014

Kegiatan penggunaan lahan gambut yang tidak dikelola secara bijaksana menjadi sumber kerusakan hutan gambut yang berakibat pada kerugian sosial ekonomi dan budaya masyarakat di sekitarnya, maupun bagi lingkungan yang lebih luas. Seperti pada Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) satu juta hektar untuk pertanian di Kalimantan Tengan tahun 1995.
Dengan pembuatan drainase yang membelah kubah gambut telah menimbulkan kerusakan hutan gambut yang luar biasa. Proyek PLG akhirnya dihentikan berdasar Keppres No. 80 tahun 1998. Untuk menangani kawasan eks PLG ini pemerintah mengeluarkan Keppres No. 80 tahun 1999 tentang Pedoman Umum Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan PLG di Kalimantan Tengah.
“Salah satu sasaran Keppres tersebut adalah penyiapan konsep rehabilitasi kawasan eks PLG dengan titik berat pada upaya pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan potensi-potensi dalam kawasan,” kata Ir. Yanarita., MP, di Fakultas Kehutanan UGM, Jum`at (27/6).
Disebutkan Yunarita, dikeluarkannya Inpres No. 2/2007 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan eks PLG di Kalimantan Tengah memberi alternatif yang dapat dilakukan untuk merehabilitasi kawasan tersebut. Diantaranya membangun kembali hutan alam dengan permudaan alami, membangun perkebunan rakyat dan membangun hutan rakyat.
“Berdasar keputusan Dirjen RLPS No. 028/KPTS/V/2001 tertanggal 17 Juli 2001, maka yang dimaksud dengan hutan rakyat adalah suatu lapangan pertumbuhan pohon-pohon di atas hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimal 0,25 hektar dan ditandai dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan lebih dari 50 persen dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang pohon per hektar,” papar dosen Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya saat mempertahankan desertasi “Strategi Pembangunan Hutan Rakyat Untuk Reahabilitasi Lahan Gambut di Kalimantan Tengah” dalam promosi terbuka Program Doktor Bidang Ilmu Kehutanan UGM.
Dikatakan Yunarita, hutan rakyat pada dasarnya bukan hal baru dalam hidup keseharian masyarakat dengan berbagai sebutan yang berbeda-beda. Misalnya, di Jawa disebut talun, di Kalimantan Barat tembawang, dan di Krui Lampung disebut rempong damar.
Sedangkan, di PLG Kalimantan Tengah juga ditemui hutan rakyat dari budidaya tanaman berkayu yang oleh masyarakat lokal disebut kabun. Umumnya, kabun ini merupakan rotasi perladangan yang didominasi oleh tanaman karet (Hevea brasilliensis) bercampur dengan tanaman jenis buah-buahan seperti rambutan (Nephelium mutabile), durian (Durio zibentinus), cempedak (Arthocarpus sp.), duku (Lansium domesticum corr.), petai (Parthia speciosa), dan lain-lain.
Yunarita menjelaskan, rakyat sebenarnya telah memanfaatkan kawasan gambut dengan menggunakan pola tanam yang mereka aplikasikan sesuai dengan karakteristik lahan yang dihadapinya. Bahkan kawasan gambut eks PLG Kalimantan Tengah juga untuk daerah tujuan transmigrasi sebagai upaya untuk pengembangan wilayah.
“Sehingga mereka yang memiliki keahlian bertani di daerah asalnya, memanfaatkan kawasan gambut menggunakan pola tanam tetapi dengan menyesuaikan dengan kondisi yang dihadapi. Sayang informasi pengelolaan hutan rakyat di kawasan gambut ini sangat terbatas. Sementara pemanfaatan lahan gambut untuk hutan rakyat dalam pengolahannya berbeda dengan pengolahan lahan hutan rakyat di lahan mineral”, katanya.
Menurut Yunarita, pengolahan lahan untuk kegiatan penanaman di habitat gambut relatif lebih sulit dibandingkan lahan mineral. Hal ini disebabkan di habitat gambut kurang subur (miskin hara), sifat kemasaman yang tinggi (pH 3-5), ketebalan gambut yang sangat bervariasi dari yang dangkal sampai yang dalam, kondisi dan tingkat pelapukan serta penggenangan air akan memberikan perlakuan yang bermacam-macam dari teknik penyiapan lahan, teknik penanaman maupun pemeliharaan.
“Oleh karena itu, hutan rakyat yang dibangun masyarakat lokal dan transmigran di kawasan gambut eks PLG tetap menjadi kajian yang menarik untuk menyiapkan konsep strategis rehabilitasi kawasan lahan gambut eks PLG Kalimantan Tengah yang telah mengalami kerusakan,” ungkapnya. (Humas UGM/Agung)

Teliti Konstruksi Kelembagaan Alas Purwo, Tri Atmojo Raih Doktor

BeritaProfil Alumni Tuesday, 18 March 2014

Pengelolaan Taman Nasional (TN) sejak dideklarasikan pada tahun 1980 mengalami banyak permasalahan. Permasalahan tersebut diberbagai simpul menyebabkan kerusakan sumber daya hutan. Salah satu upaya perbaikan pengurusan TN terdapat dalam PP No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan yaitu transformasi organisasi TN menjadi Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK).
“Salah satu taman nasional yang ditetapkan Kemenhut menjadi Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi yaitu Taman Nasional Alas Purwo (TNAP),” kata Tri Atmojo, S.Hut., M.T, di Auditorium Fakultas Kehutanan UGM, Jum`at (7/3).
Staf pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah, Sumatera Barat mengatakan hal itu saat menempuh ujian terbuka program doktor Bidang Ilmu Kehutanan, dengan desertasi “Konstruksi Kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi Alas Purwo”. Dikatakannya, konstruksi kelembagaan KPHK belum dibentuk oleh Kementerian Kehutanan dan saat ini masih menggunakan Permenhut No. P. 03/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional. Padahal, kelembagaan pengurusan hutan mestinya bercirikan kepemerintahan yang baik di bidang kehutanan, Good Forestry Governance yang selanjutnya disebut GFG.
“Konsep kelembagaan baru diharapkan mengubah paradigma administrasi klasik yang tidak hanya berorientasi pada sistem dan prosedur melainkan juga berorientasi pada hasil, output dan outcome,” papar Tri Atmojo.
Disain kemitraan KPHK Alas Purwo, dalam pandangan Tri Atmojo, menempatkan stakeholder bukan sebagai pihak yang dapat membantu pekerjaan pengelolaan, namun berproses dalam pengambilan keputusan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Dengan demikian, stakeholder juga mempunyai tanggung jawab keberhasilan pengelolaan KPHK, tidak hanya lembaga KPHK Alas Purwo sebagai pemangku kawasan.
“Sebagai prasyarat proses relasi, ini adalah kesediaan KPHK dan stakeholder untuk membuka diri dan menumbuhkan trust antar lembaga pada berbagai level, mulai pimpinan puncak KPH, hingga kesemua level sampai ke tingkat resor pengelolaan,” jelas pria kelahiran Samigaluh, Kulon Progo, 15 juni 1977.
Karena itu, model kepemimpinan yang diadopsi cocok untuk kelembagaan KPHK Alas Purwo adalah kepemimpinan transformatif. Berupa gaya kepemimpinan dinamis yang menjanjikan perwujudan identifikasi diri terhadap pemimpin dan perpaduan perwujudan kepentingan setiap personil dalam memberikan andil untuk menentukan visi organisasi. “Sehingga kepala KPHK yang berkarakter transformatif akan menggunakan pengaruhnya untuk pemberdayaan (empowerment) karyawan,” pungkasnya. (Humas UGM/ Agung)
Sumber: ugm.ac.id

Teliti Cemara Udang, Winastuti Raih Gelar Doktor

BeritaProfil Alumni Thursday, 13 February 2014

YOGYAKARTA – Sekitar 41% areal hutan di Indonesia atau 77,8 ha dalam kondisi terdegradasi akibat kerusakan hutan. Dari luas area tersebut, kondisi hutan agak kritis sebanyak 61 %, kritis 30% dan sangat kritis 6 %. Untuk memperbaiki kondisi hutan tersebut, akademisi dan peneliti dari fakkultas Kehutanan UGM mengusulkan pemanfaatan Tumbuhan penambat nitrogen untuk memperbaiki tingkat kesuburan tanah akibat degradasi hutan.
Cemara udang (Casuarina equisetifolia) merupakan salah satu tanaman untuk rehabilitasi kawasan kritis di daerah pesisir. Dengan memanfaatkan media mikroorganisme simbiotik Frankia, yang terdapat pada batang dan akar pohom tersebut, diketahui mampu mempercepat pertumbuhan tanaman dan meningkatkan kualitas lingkungan melalui penambatan nitrogen. “Frankia juga mampu membentuk bintil akar cemara udang. Kemampuan membentuk bintil ini meningkatkan kapasitas penambatan nitrogen di udara,” kata dosen Fakultas Kehutanan, Winastuti Dwi Atmanto Winastuti, dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Kehutanan UGM, Sabtu (24/8).
Frankia termasuk aktinomisetes yang hidup bebas dan bersimbiosis dengan casuarina sehingga mampu menambat nitrogen dari udara. Disamping mampu membentuk hifa, bersekat dan bercabang. Adapun hifa yang terbentuk dalam bintil akar mengandung haemoglobin. “Penambatan nitrogen bergantung pada konsentrasi haemoglobin dan laju reduksi asetilen,” katanya.
Dari hasil penelitiannya, sebagian besar nitrogen di lahan pasir pantai yang ditanami cemara udang berasal dari aktifitas mikroorganisme terutama Frankia yang mampu menambat nitrogen dari udara. Rerata nitrogen yang dihasilkan oleh cemara udang yang berada di dekat pantai sebanyak 455,66 kg/ha setara dengan 986,23 kg urea/ha. Bahkan penanaman cemara udang di lahan pantai berpasir juga meningkatkan C-organik 133,33-433,33% dibandingkan dengan lahan pasir yang tida ada tanamannnya.
Setelah ditanamani cemara udang, kata Winastuti, lahan pasir pantai rata-rata mengandung C berkisar 5,85-6,82 ton/ha. Kehadiran tanaman cemara udang juga mampu menaikkan nitrogen tanah 0,02%-0,04%, dibanding lahan pasir pantai yang tidak ditanami cemara udang yang memiliki kadar nitrogen 0,01%. (Humas UGM/Gusti Grehenson).
Sumber: ugm.ac.id

Rilis Berita

  • Pengabdian kepada Masyarakat Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Kehutanan (PSDIK) Fakultas Kehutanan UGM Periode Semester Gasal TA 2025/2026
    September 28, 2025
  • Pelatihan Penulisan Ilmiah Program Studi Doktor Ilmu Kehutanan (PSDIK) Fakultas Kehutanan UGM Periode Semester Gasal 2025/2026
    September 28, 2025
  • AUDIT MUTU INTERNAL (AMI) PSDIK FKT UGM TAHUN 2025
    September 17, 2025
  • PENERIMAAN PESERTA BARU PASCASARJANA FAKULTAS KEHUTANAN UGM GASAL 2025/2026
    August 25, 2025
  • ANALISIS HASIL TRACER STUDY AGUSTUS 2025 PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU KEHUTANAN (PSDIK) FAKULTAS KEHUTANAN UGM
    August 8, 2025
  • Kuliah Umum Bersama Dr. Daniel Mendham bertajuk “The Urgency to Unleash the Nature Positive Economy for Peatlands in Indonesia: Lessons from Gambut Kita Research Project”
    July 30, 2025
  • Ujian Terbuka Promosi Doktor bagi Muhammad Wahyudi, S.P., M.Sc.
    July 29, 2025
  • Pengumuman Heregistrasi Semester Gasal TA 2025/2026
    July 10, 2025
Universitas Gadjah Mada

Program Studi Doktor Ilmu Kehutanan
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada
Jl. Agro No.1, Kampus UGM, Bulaksumur Yogyakarta, Indonesia 55281
(0274) 584126
s3ilmukehutanan@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY